Di era informasi ini, musik bukan lagi
barang mahal yang hanya bisa dikonsumsi
orang-orang tertentu. Musik seolah telah
jadi bagian dari keseharian manusia. Mulai
dari televisi, internet, radio, sampai ponsel
pun, selalu menyediakan musik sebagai
hiburan tambahn. Di tempat mana pun,
musik selalu tersedia untuk dinikmati.
Naik-turun, di Indonesia, jenis musik selalu
mengalami perubahan sesuai dengan selera
masyarakat, meski ada juga yang konsisten
hingga sekarang. Dekade 70-an, lagu-lagu
dari musisi Koes Bersaudara. 80-an,
lantunan musik pop mendayu-dayu. 90-an,
musik dangdut, pop-dangdut, pop-rock
semakin mewarnai dunia musik nasional.
Dan sekarang? Jelas lebih bewarna lagi!
Di awal abad 20 ini, tema musik tanah air
hampir seragam, meski dikemas dalam
bentuk berbeda. Mungkin kami tidak
melakukan penelitian untuk ini, tapi kami
berasumsi, tema “cinta” sudah mewabah di
masyarakat. Telinga-telinga warga
Indonesia pastinya sudah tidak asing lagi
dengan tema “cinta” pada musik di
Indonesia. Sangat disayangkan lagi, kisah
cinta yang dinyanyikan musisi banyak
berupa kisah-kisah cengeng. Musik dengan
kisah cengeng ini yang kami sebut dengan
lagu cengeng.
***
Ada dua komponen dalam musik/lagu,
instrumen dan lirik. Untuk instrumen, lagu
cengeng dikatakan oleh Ai Kawakami,
peneliti dari jepang, memiliki nada minor.
Selanjutnya dalam beberapa penelitian
lainnya, lagu bernada cengeng itu memiliki
dampak positif maupun negatif yang candu
(lihat prolog). Namun, terlalu sulit bagi
kami untuk mengategorikan lagu
berinstrumen minor, terutama di Indonesia.
Sehingga, kami lebih memfokuskan diri
terhadap lirik lagu.
Untuk lirik lagu sendiri, sebenarnya tidak
terlalu sulit mengelompokkan lagu mana
yang dikatakan cengeng. Bisa kita lihat,
lagu cengeng memiliki bau-bau
keputusasaan. Apalagi, bicara lagu di
Indonesia zaman sekarang, tidak lepas dari
tema percintaan. Sakit hati akibat “cinta
yang membunuh,” luka yang diderita karena
“bertahan pada satu C.I.N.T.A,” ketahuan
selingkuh dan “pacaran lagi dengan
dirinya,” adalah contoh lagu yang
mengandung unsur pesimisme, ini yang
kami maksud dengan lagu cengeng.
Harmoko, menteri penerangan di era
Soeharto, menduga bahwa lagu cengeng ini
memiliki dampak negatif pada masyarakat.
Saat itu ia mengatakan kalau lagu cengeng
bisa melemahkan semangt pemuda, bahkan
sampai membuat keretakkan rumah tangga.
Kami amini itu, bahkan menurut kami ada
satu dampak negatif yang paling mendasar
dari mendengarkan lagu cengeng ini, yakni
pesimisme.
Akibat paling tampak, bisa juga dilihat dari
bagaimana anak-anak terpengaruh oleh
lagu ini. Lihat saja pengamen-pengamen
kecil di jalan, menyanyikan lagu-lagu cinta,
bahkan perselingkuhan, lagu yang jelas-
jelas tidak sesuai dengan usianya. Belum
lagi, akibat maraknya lagu-lagu cengeng
ini, anak-anak jadi mengenal istilah-istilah
yang seharusnya belum layak untuk
diterima oleh anak-anak. Mungkin, si anak
tidak mengerti makna istilah tersebut
secara mendalam. Tapi, justru ini lebih
berbahaya, bisa-bisa si anak
mengartikannya secara dangkal, lebih
parah dia mengartikannya salah. Istilah
“cinta” saja, mungkin diartikan dengan
“pacaran”.
Kami pikir pembaca akan mengerti,
bagaimana bahaya dari lagu cengeng,
terutama yang bertema keputusasaan cinta.
“Hancur hatiku,” “cinta ini membunuh,”
“butiran debu,” “mengapa selalu aku yang
mengalah,” “ku berlari, kau terdiam,” dan
banyak lagi lagu-lagu cengeng yang
semakin merajalela di kancah musik
Indonesia. Nuansa pesimisme yang
dibawanya, akankah membuktikan dugaan
Harmoko, “melemahkan semangat
pemuda?”.
***
Di luar dampak negatifnya, ada satu hal
yang tidak lepas dari fenomena lagu
cengeng, yakni kenyataan bahwa lagu/
musik adalah bagian dari seni. Seni
merupakan produk budaya suatu bangsa,
merepresentasikan sebuah karakter
masyarakat, lalu bagaimana dengan
karakter masyarakat Indonesia dengan lagu
cengengnya?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu
diketahui dulu, munculnya sebuah genre
musik membawa sejarah sendiri-sendiri,
beserta semangat dan tujuannya masing-
masing. Bisa dilihat dari lagu Punk, Reage,
Blues, dan lainnya, memiliki latar belakang
sendiri-sendiri sebagai ekspresi musisi
untuk mencapai tujuannya. Demikian pula
dengan pencipta dan penyanyi, memiliki
tujuan sendiri dalam membuat sebuah
lagu. John Lenon, menyisipkan semangat
kemanusiaan dalam lagu-lagunya. Bob
Marley, mengekspresikan kebebasan lewat
lagu Reagenya. Di Indonesia pun ada Iwan
Fals, dikenal sebagai pencipta lagu kritik
pada zaman orba. Atau God Bless,
mengangkat fenomena di masyarakat
sebagai latar belakang lagu. Sedangkan
saat ini? Cinta, adalah tema umum yang
melatarbelakangi sebuah lagu.
Dalam fenomena lagu cengeng ini, ada dua
subjek dengan peran pentingnya, yaitu
musisi/seniman dan masyarakat/
pendengar. Lagu adalah media penyampai
pesan antara musisi dan masyarakat, ini
yang dimanfaatkan John Lenon, Bob
Marley, God Bless atau Iwan Fals dalam
menyampaikan pesan ke masyarakat
banyak. Pesan apa yang disampaikan,
tergantung dari ekspresi perasaan mana
yang ingin ditunjukkan musisinya.
Masyarakat sendiri memiliki peran dalam
mengangkat popularitas lagu, karena
masyarakat punya selera. Musisi mana
yang bisa menjawab selera, lagu dari dia
lah yang akan menjadi populer di
masyarakat.
Semua kembali ke selera masyarakat,
perannya sangat penting dalam hal ini.
Ekspresi musisi yang tidak sesuai dengan
selera masyarakat, tertendang keluar
lapangan persaingan belantika musik tanah
air. Ini karena kecenderungan manusia
untuk melihat dan memilih sesuatu yang
dianggapnya sama (similiar) dengan
dirinya. Dalam konteks ini adalah
masyarakat cenderung memilih lagu
(ekspresi musisi) yang sesuai dengan
seleranya.
Jika begitu, fenomena lagu cengeng di
Indonesia ini menarik kita dalam dua
kesimpulan kesimpulan. Pertama , selera
masyarakat Indonesia adalah yang
cengeng-cengeng, oleh karena itu lagu
cengeng bisa menjamur di masyarkat.
Masyarakat memilih lagu cengeng, karena
dirasa lagu ini kurang lebih sama dengan
kondisinya, artinya bahwa mental
masyarakat Indonesia adalah ‘cengeng’.
Kedua, kondisi lagu cengeng yang bisa
bertahan di Indonesia, bahkan dengan
jumlah lebih banyak, merupakan tanda
bahwa ekspresi musisi tanah air adalah
cengeng. Hanya musisi cengeng, dengan
pengekspresian lewat lagu cengenggnya
yang bisa bertahan dan menjawab selera
masayarakat. Keduanya bermental cengeng,
baik musisi maupun masayarakatnya,
ditandai dengan lagu cengeng yang
mendominasi dunia permusikan Indonesia.
Ini cukup untuk menjawab pertanyaan
sebelumnya, bangsa Indonesia berkarakter
cengeng!
***
Zaman Orba (Orde Baru) dibawah pimpinan
Soeharto, berdasarkan dugaan Harmoko,
menteri penerangan saat itu, melarang lagu
‘cengeng’ beredar di masyarakat.
Barangkali keinginan Soeharto ini baik,
untuk membangun semangat pemuda
Indonesia, agar tidak terjebak dalam mental
pesimisme, dampak dari lagu cengeng
tersebut. Namun, perlukah itu diberlakukan
lagi hari ini? melihat kondisi Indonesia
dengan karakter cengengnya, sewajarnya
kebijakan tersebut diberlakukan.
Pelarangan terhadap lagu cengenh harus
kembali digalakan.
Mungkin sewajarnya demikian, demi
merubah karakter bangsa menjadi lebih
baik. Tapi, melarang lagu cengeng berarti
membatasi kebebasan ekspresi musisi
dalam membuat sebuah lagu. Selain itu,
dampak dalam bidang ekonomi akan
demikian juga. Tidak dapat semerta-merta
menghentikan dan melarang lagu cengeng
yang beredar, jatuhnya lagu cengeng
mungkin bisa jadi menurunkan pendapatan
negara, mengingat pemasaran lagu cengeng
sedang dalam masa emasnya.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Jika
membatasi tidak bisa, tidak dibatasi pun
berakibat fatal. Dilema memang membahas
hal ini. Dari sini sebuah ide muncul,
kategorisasi.
Mari ingat bagaimana terdapat kategori
Semua Umur (SU), Bimbingan Orang Tua
(BO), Remaja (R), dan Dewasa (D) pada
flm-film Indonesia. Sekiranya seperti itu
pula lah kategorisasi yang bisa diterapkan
pada belantika musik tanah air, sehingga
sasaran akan lebih tepat. Terlebih, saat
melihat dampak lagu cinta dan cengeng
pada anak-anak, setidaknya dengan
kategorisasi dampak negatif terhadap anak-
anak bisa diminimalisir.
Selain itu, selera masyarakat yang lain pun
bisa terwadahi. Tidak hanya masyarakat
berselera ‘cengeng’ saja yang bisa
menikmati musik, kelompok lain punya
kesempatan untuk juga menikmati musik
sesuai seleranya. Kategorisasi juga tidak
mematikan industri musik secara total,
paling tidak ada toleransi bagi para
pebisnis musik untuk melanggengkan
bisnisnya.
Bisnis? Ya, lagi-lagi bisnis mengundang
masalah baru, terutama soal orientasi.
Industri musik yang semakin menggiurkan
membuat banyak musisi baru muncul ke
permukaan hanya dengan orientasi bisnis.
Lupa bahwa sebenarnya musik ini bicara
soal seni, menyederhanakan musik hanya
sebatas lahan mencari keuntungan.
Terciptalah karya-karya prematur karena
uang adalah tujuannya. Musisi ini biasanya
memaksakan diri bersaing dengan musisi
papan atas tanpa mempertimbangkan
kemampuannya, menyajikan musik dengan
video-video vulgar seolah
mengenyampingkan kreativitas. Lihat saja,
belakangan ini banyak artis-artis
menggunakan popularitasnya untuk beralih
ke bidang musik, meski kemampuan
musiknya terbilang ‘pas-pasan’.
***
Musik, seni, mental bangsa, bisnis dan
orientasi, adalah bahasan diskusi kali ini.
Namun, kunci terpenting untuk
memperbaikinya lagi-lagi kesadaran. Ada
orang yang suka dengan lagu cengeng,
namun ia tetap optimis, semangat kerja
tidak melemah. Ini disebabkan karena
kesadaran.
Dalam prolog dijelaskan, pengaruh lagu
cengeng meraba alam bawah sadar. Berarti
pendengar tidak bisa mengetahui apa,
bagaimana, dari mana, dan mengapa
pengaruh yang diterimanya. Namun, itu
hanya terjadi kalau pengaruh musik masuk
ke alam bawah sadar, manusia bisa
mengendalikan pengaruhnya lewat ‘sadar’.
Dengan kesadaran, pendengar bisa
memproteksi diri dari pengaruh negatif lagu
cengeng. Paling mendasar, dengan
kesadaran kita bisa memilah-memilih lagu
mana yang pantas untuk dinikmati.
Demikian pula untuk para musisi, dengan
kesadaran para musisi tahu lagu apa yang
pantas untuk didengar oleh masyarakat,
tidak hanya untuk kepentingan memperkaya
diri. Kesadaran juga mengingatkan para
musisi untuk tidak menyederhanakn musik
sebagai seni dan seni sebagai bagian dari
mental bangsa.
Bila masyarakat dan para musisi sama-
sama sadar, maka lagu di Indonesia tidak
lagi cengeng!
Sumber: secarikkatakita.wordpes.com
Home »
berita musik
» menjamurnya lagu cengeng
menjamurnya lagu cengeng
Posted by updatemusik
Posted on 03:59
with No comments
0 komentar:
Post a Comment